Kamis, 22 Oktober 2009

Swasembada Beras dan Kemelaratan di Indonesia: Suatu Model yang Lucu!

(tulisan ini juga kupostkan di grup fesbuk LSKE FE UNDIP di http://www.facebook.com/group.php?gid=68992656907&v=app_2373072738#/group.php?gid=68992656907)

Abstract
Dalam rangka ikut merayakan hari pangan sedunia ke-29 yang baru saja diperingati di muka bumi, sedikit diskusi ringan kuhaturkan kepada forum LSKE tercinta ini. Kumau lihat sedikit dari sisi ini, swasembada dan kelaparan di negeri tercinta yang “Gemah Ripah Loh Jinawi” ini. Kuingin sedikit mempertanyakan pemerataan dengan cara seenaknya, yang tetap kubelum punya solusi. Mari makan…..

Meskipun banyak di antara kita tidak tahu bahkan tidak peduli pada kabar membanggakan ini: Negara Indonesia tercinta berhasil berswasembada beras pada tahun 2008!

Pada sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 15 Agustus 2008, presiden SBY menyampaikan bahwa untuk pertama kalinya Indonesia berswasembada beras pada tahun 2008 setelah menunggu selama 24 tahun (www.presidensby.info; Kompas 12 desember 2008). Pemerintah juga memperkirakan tahun 2009 ini kembali akan terjadi swasembada beras. Hebatnya lagi, swasembada tahun 2008 ini terjadi tanpa impor beras sama sekali. Berbeda dengan swasembada beras pada tahun 1984, waktu itu pemerintah negeri ini masih ngimpor beras sekitar 400ribu ton lebih.

Meskipun menurut data BPS, tahun 2004 dan 2005 sebenarnya sudah terjadi swasembada (Medan Bisnis, 26 Februari 2006). Tapi pada tahun tersebut sepi-sepi saja beritanya. Kali ini berbeda, swasembada 2008 diumumkan resmi oleh pemerintah Indonesia di hadapan sidang dewan yang terhormat. ---Yang jelas ni pidato gak mungkin ngaranglah. Level resmi khabar ini berada pada level satu. Bukan hanya khabar burung, tapi dipidatokan di sidang paripurna DPR! Pastinya, dokumen resmi pidato Sang Presiden itu dilengkapi pula dengan lampiran data-data, yang bisa kita cek keakuratannya!---- Dunia pun mengapresiasi keberhasilan ini. Menteri Pertanian, Anton Apriono diundang ke Berlin untuk berbicara terkait dengan keberhasilan Indonesia melakukan swasembada beras (http://www.detiknews.com/read/2009/01/17/131847/1069999/10/indonesia-dilihat-dunia-atas-keberhasilan-swasembada-beras).

Meskipun demikian, masih banyak silang pendapat yang menyebutkan keberhasilan swasembada itu hanya kebetulan, karena musim lagi bagus dan sebagainya. Banyak juga makhluk yang tidak percaya bahkan curiga kalau khabar swasembada itu hanya lips service saja dan gak terlalu ngaruh, plus buat “ngademin” hati, karena di samping gembar-gembor pengakuan pemerintah tentang swasembada, toh pemerintah tetap memperpanjang MoU dengan Vietnam, agar Vietnam mencadangkan 1 juta ton beras sampai 2012 untuk Indonesia (http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=258&Itemid=97, Kompas 29 April 2009). Pemerintah sih mengatakan kalau MoU itu hanya untuk berjaga-jaga, jika rakyat (rakyat yang mana?) tidak memerlukannya, tidak akan diimpor.

----Kupanjatkan puji dan syukur, Alhamdulillah, kepada Allah Yang Maha Mengatur Rejeki, untuk karunia-Nya sehingga bangsa ini (petani) mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan bangsa ini (petani dan bukan petani). Selamat untuk para petani Indonesia! Selamat buat semua elemen bangsa mulai dari pengambil kebijakan sampai pemungut sampah, yang selalu berkerja keras untuk mencapai ini semua-----

Selesaikah persoalan kecukupan pangan dengan swasembada?

Apakah dengan lugu dapat kutanyakan bahwa dengan swasembada nasional, semua rakyat di bawah naungan Garuda Pancasila dapat dicukupi makannya (berasnya) tak kurang satu orangpun, dengan kamampuan kita sendiri? Wkwkwkwkwk (tertawa kecil ala komen facebook). Kujawab sendiri: kayaknya belum tuh.

Dengan ukuran agregat produksi = konsumsi nasional, ini memang pas. Jika produksi lebih besar atau sama dengan konsumsi, ya terjadilah swasembada. Secara perkapita, pemenuhan konsumsi beras per penduduk tentunya terpenuhi dong oleh produksi dalam negeri. Namun demikian, untuk persoalan makan secara agregat ini, dengan sederhana dapat kukatakan bahwa kemungkinan ada rakyat Indonesia yang makannya berlebih (melebihi rata-rata perkapita), ada juga yang kurang dari perkapita. Sederhananya, dianalogikan ada orang makannya bisa lebih dari 1 piring sekali makan, makan 3 kali sehari, ada yang gak makan dua hari sekali, sehari makan sehari tidak (bukan lagi puasa Daud, tapi karena kere: dia juga memiliki hak untuk hidup). Secara sederhana ingin kukatakan, untuk urusan beras ini saja, bahwa ada sebagian rakyat yang mengkonsumsi beras di bawah ukuran perkapita atau rata-rata. Ini baru bicara beras lho…..

Siapa yang tidak kekurangan makan dan siapa pula yang kekurangan makan? Jawabannya: kita, dan orang miskin. Benar ada nggak sih orang miskin? Ada, banyak. Kita, akademisi dan mahasiswa ekonomi pastilah paham bin mahfum, di negeri ini masih banyak orang miskin. Dari data yang disebutkan dalam RPJMN 2004-2009, dikatakan bahwa pada tahun 2004, terdapat 36,1 juta jiwa orang miskin di Indonesia. Jumlah itu masih lebih banyak dari penduduk Malaysia (tahun 2008, penduduk Malaysia sekitar 27.730.000-nggak percaya? Lihat di Wikipedia aja). Kalau orang dengan jumlah segitu dikumpulkan menjadi satu negara sendiri, jadi kayak lagu dangdut Hamdan ATT: negara termiskin di dunia.

Anehnya lagi, di sektor pertanian, 70-80 persen petani dan nelayan adalah orang miskin (lihat deh RPJMN 2004-2009: http://www.bappenas.go.id/node/131/58/download-lengkap-perpres-no7-tahun-2005-dan-naskah-rpjm-2004--2009/). Orang yang menghasilkan pangan – yang menghasilkan swasembada itu – malah pada miskin. Wah…..what a contradiction…..

Siapa sih orang miskin? Apa ukurannya sampai orang dikatakan miskin? Di sini tidak membicarakan kriteria kemiskinan secara holistik, seperti didengungkan oleh teori ekonomi pembangunan terbaru. Tapi dibatasi dari sisi pangan sajalah, itupun menurut BPS saja. Menurut BPS nih, kriteria orang miskin dari sisi pangan: “Keluarga tergolong miskin itu memasak dengan kayu bakar, arang, minyak tanah, tidak mengkonsumsi daging, susu atau daging ayam per minggu (tidak pernah atau cuma satu kali seminggu). Keluarga itu hanya makan satu atau dua kali dalam sehari”. ----Masih lumayan tuh, masih makan. Tapi, makan sekali sehari? Lha, swasembada tu buat siapa sih? Kok mereka nggak dapat bagian beras sehingga bisa makan lebih dari satu kali sehari? (Kucoba bicara beras saja di sini, sebagai makanan pokok). Swasembada, ataupun kecukupan beras itu, tidak memasukkan orang-orang ini ke dalam hitungan dong.

Itu baru yang miskin dan masih bisa makan, walau sehari sekali. Ada lho yang lebih parah, namanya kelaparan. Kata Direktur Program Pangan Dunia (United Nations World Food Programme ) Indonesia, Bradley Bussetto, seperti yang diberitakan oleh www.tempointeraktif.com tanggal 9 Mei 2007 (http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/05/09/brk,20070509-99723,id.html): ”Saat ini lebih dari 850 juta orang di dunia menderita kelaparan kronis, 820 juta diantaranya tinggal di negara berkembang. Setiap 5 detik, 1 orang meninggal dunia akibat kelaparan di Asia (mengerikan ya?). Sekitar 50 persen dari total penderita kelaparan kronis tersebut adalah anak-anak. Data Food and Agriculture Organization (FAO) 2006 menyebutkan, 350 hingga 450 juta anak menderita kelaparan kronis di dunia, 13 juta diantaranya adalah anak Indonesia . Kelaparan atau kurang gizi merupakan penyebab utama kematian di dunia, melebihi AIDS, Malaria, dan TBC”. Huaaaaaa………Mati karena kelaparan! Ini fakta yang ditunjukkan oleh WFP. Padahal lho, kata BPS sih, kita sudah swasembada di tahun 2004-2005. Bagaimana dengan swasembada 2008 dan mungkin 2009, masihkah diiringi dengan kelaparan?

Banyak berita-berita/kasus-kasus dan keprihatinan mengenai kelaparan di Indonesia. Coba lihat di http://www.infodiknas.com/kemiskinan-dan-kelaparan-di-indonesia/, untuk kelaparan di Jawa Barat. Coba baca berita di http://digilib.biologi.lipi.go.id/indexdisc.php?topic_id=123, dan banyak lagi yang lainnya yang dapat kau temukan sendiri dengan mudah di internet.
Buat membarakan rasamu, kusampaikan suatu berita: “Berita yang dimuat dalam harian Fajar (Makassar) 1 Maret 2008 tentang meninggalnya seorang ibu yang hamil 7 bulan bersama bayinya karena kelaparan setelah tiga hari tidak makan, merupakan peringatan bagi kita semua bahwa rakyat Indonesia memang sedang menghadapi banyak hal yang parah sekali. Sebab, berita ibu hamil yang mati kelaparan bersama bayinya itu hanyalah satu dari ratusan juta rakyat Indonesia yang sedang dirundung penderitaan karena parahnya kemiskinan dan pengangguran……” (http://www.lintasberita.com/Nasional/Berita-Lokal/Ibu_hamil_tua_meninggal_karena_kelaparan). ckckckckckck (suara cicak ala Facebook). Seperti lagu Nidji: “Sampai hati, sampai mati”. Masya Allah.

Ku-link-an contoh data yang lain. Menurut data Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT, sedikitnya 188.906 jiwa atau 43.401 keluarga NTT di 229 desa berisiko tinggi kelaparan dan terancam kelaparan. Penduduk berisiko sedang sebanyak 33.987 keluarga atau 162.447 jiwa di 348 desa lainnya dan berisiko ringan 217.855 jiwa (57.720 keluarga) di 429 desa. Selain itu, 452.920 jiwa dari 101.973 keluarga di 117 kecamatan atau 1.108 desa gagal tanam dan gagal panen (http://www.tempointeractive.com/hg/nusa/nusatenggara/2005/05/16/brk,20050516-61053,id.html).

Oke, bukannya pemerintah tidak melakukan apa-apa. Pemerintah sudah melakukan program-program pengentasan kelaparan. Contoh nih, untuk kasus NTT itu, dari tulisan yang sama di www.tempointeraktif.com, “…pemerintah pusat mengalokasikan dana Rp 11 miliar serta menyediakan beras gratis bagi daerah paling parah di Nusa Tenggara Timur yang mengalami kelaparan dalam masa tanggap darurat. Sedikitnya 2000 ton beras disiapkan untuk mengatasi kelaparan di 16 kabupaten dan kota. Pemerintah sudah memantau semua desa untuk diintervensi dewan ketahanan pangan. Salah satunya yakni pengembangan proyek padat karya”.

Apakah program-program pemerintah itu jangka panjang, nggak hanya ad hoc semata? Program ini menyeluruh? Tepatkah program-program ini? Kutidak akan membahas satu per satu program-program pemerintah. Dari satu kasus NTT tersebut, dimungkinkan bahwa penanganan pemerintah pusat tidak terencana, terkoordinasi vertikal dan horizontal, sepihak tidak melibatkan masyarakat setempat (baca wawancara radio Nederland Wereldomroep dengan wakil rakyat di http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/asiapasifik/kelaparan_ntt050606-redirected). Pemerintah nggak mahfum dengan kearifan lokal.
Sebenarnya, pertanyaan bodoh buat mengevaluasi program-program hebat pengentasan kemiskinan yang sudah dijalankan pemerintah ini: mengapa masih ada kemiskinan dan kemelaratan di negeri ini? Kok nggak habis?

Penutup

Bangga dengan swasembada? Dipuji memiliki ketahanan pangan yang tangguh, menjadi perhatian dunia. Miris, masih ada sebagian dari rakyat Indonesia yang mati karena kelaparan. Kita butuh lebih dari sekedar program-program untuk mencapai swasembada yang membanggakan. Sudahkah pemerintah memberikan perhatian, melakukan sesuatu, yang seharusnya untuk menyelamatkan semua rakyat dari kelaparan? Bagaimana program-program pengentasan kemelaratan berjalan?

Boi, semoga kita dapat berbuat sesuatu tanpa harus menunggu pemerintah dan dewan perwakilan kita yang terhormat itu turun tangan. Tapi, aku juga belum bisa ngapa-ngapain ni… malu sama Luna Maya yang diangkat Organisasi Program Pangan Dunia –WFP, yang berada di bawah PBB, sebagai Duta Nasional WFP untuk memerangi kelaparan di Indonesia. Oh, Luna…..(eh?)
Biarlah tulisanku ini berakhir begini saja. Mampuku hanya ini, selanjutnya kalian.

Lampiran

Kalau mau lihat-lihat gambar orang kelaparan di Indonesia, sila klik: http://images.google.co.id/images?hl=id&rlz=1R2SKPB_enAU348&q=kelaparan+di+indonesia&um=1&ie=UTF-8&ei=34HZSs2pGZao6AOogLGTBg&sa=X&oi=image_result_group&ct=title&resnum=4&ved=0CBYQsAQwAw.

Miris sekali rasanya melihat gambar-gambar itu, kalau gambar itu benar adanya, sungguh sangat menyedihkan bahwa ada bagian dari kita di muka bumi ini (khususnya di negeri tersubur di mana, menurut Koes Plus, tongkat kayu dicocok menjadi tanaman ini) sampai mengalami penderitaan seperti itu.

1 komentar:

  1. good idea bro...salut gw.mo tanya ttg kebijakan lokal yg sempat disinggung di tulisan ente di atas.kebijakan lokal tu ap sih bro?baru dengar gw.maklum kuper.hehehe........so,pengaruhnya terhadap perekonomian gmn?thanks 4 pencerahannya...n kl bro g keberatan gmn gw dpt artikel2 ttg kebijakan lokal?u/nambah ilmu.haaha........best regard.

    m.andiirawan@gmail.com

    BalasHapus